\"Writing.Com
*Magnify*
SPONSORED LINKS
Printed from https://writing.com/main/view_item/item_id/2186725-Sore-Itu-Kita-Putus
Item Icon
\"Reading Printer Friendly Page Tell A Friend
No ratings.
Rated: E · Short Story · Nonsense · #2186725
Pasangan tidak bahagia
Dia seolah menantang aku dengan kedua matanya yang terhalang kacamata. Tapi diriku tak begitu tergertak ataupun merasa hina. Entah kenapa aku malah memikirkan betapa menyayangkan ia harus mengenakan kacamata setebal itu. Mata itu betul-betul hablur, walau bayanganku menghalang cahaya untuk bisa mengkilapkannya lebih. Aku pun menyingkir sebentar. Dia jelas semakin marah karena aku menjauhi dia. Kemudian dia menjerit dan mengangkat kembali hubungan kita yang dulu (baginya) sangat berbunga-bunga. Tentang betapa (ia kira) kuatnya hubungan kita dari hanya sahabat menjadi sekarang. Ia sebutkan hal-hal manis yang kita lakukan sewaktu SMA dulu, kencan pertama setelah lulus, telpon-telpon panjang saat LDR, kebiasaan kita saat bertemu, kejadian-kejadian lucu; dan semua itu aku bakar habis di kepala. Aku meminta maaf dan mengatakan padanya: Itu semua hanya masa lalu. Matanya semakin berkilau.

Saat aku menyingkir, cahaya matahari lewat. Irisnya yang sebelumnya hitam menjadi coklat emas, dengan sisinya yang berserabut seperti tenun berlapis resin. Kacamatanya ku suruh lepas, dan dia melepaskan. Dia sudah tidak sanggup menahan air matanya. Titik air meluncur dan menyelip diantara rapatan bibirnya. Ku berikan selembar tisu.

Aku mau putus, serunya. Aku tidak masalah, jawabku. Tangisnya semakin mendera. Jawabanku salah. Kembali lagi, aku meminta maaf atas segalanya dan beranjak pergi. Orang sekitar dengan tatapan menilaiku sebagai lelaki payah, tapi aku tidak peduli. Ini memang bukan jodohku, aku tau dia ada disana. Perempuan itu sudah menungguku.

---

Dia tidak ingin berpandang mata denganku. Tapi terlihat jelas dia sedang menahan tangis karena posisi bibirnya yang aneh. Sedikit merengut, dan rahang bawahnya apabila diperhatikan kembali ialah bergetar. Oh, Aduhai, biarpun pertemuan hari ini tidak begitu menyenangkan dia menggunakan lipstik merah yang kubelikan tujuh bulan yang lalu! Dia bahkan memolesinya kembali dengan lip gloss. Betapa awet, mengingat berias bukan hobinya. Entah kenapa dia justru menggunakannya sekarang. Bibirnya yang sudah tebal menjadi makin mencolok. Akan semakin indah jika tersenyum. Aku senang dia mengambil nasihatku untuk segera belajar berias (sebetulnya agar terlihat cocok dengan pakaian kantornya). Selalu saja dia menolak, tapi lihat sekarang.

Sudah dua puluh menit kita duduk berhadapan di kafe ini. Kopiku dingin dan kuenya sudah dilalati. Bisa saja aku mengusir lalat itu, tapi rasanya tidak etis saja. Akhirnya ia berbicara. Kamu ngapain sama wanita itu kemarin? gertaknya, masih menatap keluar jendela samping. Aku mendua, langsung ku jawab saja. Dan dengan mata terbelalak ia menatap mataku. Aku balas dengan tatapan biasa. Dia tidak memakan kue itu sama sekali dan pergi. Di tengah kepergiannya dia menyuruhku untuk tidak mengontaknya kembali dan bahwa dia berias untuk pergi kencan dengan teman sekantornya. Aku tahu kamu bohong, seruku memanasi. Perempuan itu jelas tidak punya teman selain tetangga lansianya. Dia tidak berbalik badan.

Sekali lagi, tunggu aku. Dia hanya penghalang. Tunggu aku gadis!

---

Pada pukul empat sore dia menyayat tangan kanannya secara vertikal. Diteemukan alat tajam berupa isi cuter yang digulung dengan kain dan sepucuk surat.
© Copyright 2019 Donna Gitawa (dogik at Writing.Com). All rights reserved.
Writing.Com, its affiliates and syndicates have been granted non-exclusive rights to display this work.
Printed from https://writing.com/main/view_item/item_id/2186725-Sore-Itu-Kita-Putus