\"Writing.Com
*Magnify*
SPONSORED LINKS
Printed from https://www.writing.com/main/view_item/item_id/1889679-Mystery-Club-Case-part-1
Item Icon
\"Reading Printer Friendly Page Tell A Friend
No ratings.
Rated: 13+ · Serial · Detective · #1889679
The adventure of Mystery Club : Hans, Lucas, Tania, Amy, Tammy
written on 1998
self publish on 2007



One
Sore itu klub misteri berkumpul di rumah Hans untuk belajar bersama karena ujian sudah dekat. Sebentar lagi mereka kelas 3 (kalau naik sih), dan di kelas 3 nanti, mereka akan dihadapkan pada yang namanya ujian masuk SMU, jadi tidak ada salahnya mulai belajar dari sekarang.
Sembari mengerjakan soal mereka pun mengobrol dengan santai. Tammy membuka percakapan tentang kondisi mereka saat ini.
“Gak kerasa ya kita sebentar lagi kelas 3” Tammy menggumam, “kita ntar gak bisa menangani kasus-kasus lagi dong?”
“Ya.. bisa jadi sih. Tapi kurasa Detektif Duncan bisa menanganinya” Lucas berkata dari balik buku Biologinya, “ kita tak sepenuhnya berhenti membantu kan?”
“Apa maksudmu?” tanya Amy
“Kita kan masih bisa berpartisipasi kalau mereka butuh bantuan kita, dan juga kalau ada kasus yang tidak bisa dipecahkan oleh kepolisian Rockvalley ini”
“Benar juga, kita berarti masih tetap diperlukan ya” Tania berseru gembira
Amy dan Tammy juga tampak lega dengan perkataan Lucas tadi. Mereka melanjutkan menjawab soal dan membaca buku pelajaran. Namun tak beberapa lama kemudian, Lucas melirik jam tangannya
“Wah, aku harus pulang. Sudah jam 4 nih, aku ada janji dengan Eric untuk melatih sepakbola” katanya
Hal senada pun keluar dari bibir Tammy
“Aku juga mau pulang. Aku ada janji kencan nih” seru Tammy yang sudah mulai memberesi barang-barangnya.
“Kencan sama sapa? Bukannya kamu tadi bilang habis kencan dengan Steve?” tanya Amy
“Oh.. itu kan tadi pagi ke perpustakaan. Sore ini aku kencan dengan Ralph. Kita mau nonton” ujar Tammy tersenyum.
“Ya ampyun! Ganti lagi???” seru Tania sambil geleng-geleng tak percaya. Sedangkan Tammy hanya tergelak ringan.
“Eh… duluan ya!” Tammy berseru dengan melambaikan tangannya. Di belakangnya, Lucas pun telah selesai berberes dan kemudian melangkah mendekati pintu. Mereka berdua pun berpamitan.
Lucas dan Tammy segera keluar dari rumah Hans terburu-buru. Amy dan Tania masih memberesi buku-buku mereka sambil mengobrol.
“Duh… gak ngerti deh ama Tammy. Pacarnya ada berapa sih?” tanya Amy
Tania yang ditanya cuma mengangkat bahu
“Gak tau juga tuh… Dia cuma senang nge date dengan berbagai macam cowok aja. Kalau pacar, aku belum pernah tau”
“Yah.. sudahlah. Kita juga pulang yuk” ajak Amy
“Ayo aja, tapi si Hans gimana?” tanya Tania yang kemudian menengok ke arah sofa di belakangnya. Tampak sosok Hans yang sedang tertidur pulas dengan tumpukan buku di dadanya. Yang tampaknya tidak sempat dibaca karena ia keburu terlelap.
“Bangunin aja, bilang kita mau pulang” kata Amy
“Tapi… kasian deh, kayaknya dia capek banget” ujar Tania ragu. “Soalnya tadi dia ada pertandingan basket dan bantuin klub atletik segala”
“Ya udah. Kita tinggalin pesen aja. Beres kan”
“Ok deh” Tania menurut. Lalu ia menulis pesan singkat yang mengatakan mereka sudah pulang duluan, dan tidak tega membangunkannya yang sedang tidur pulas.
Hans…
Kita pulang duluan ya… udah sore soalnya.
Si Tammy en Lucas aja udah duluan tadi. Aku ama Amy yang terakhir pulang.
Sorry ya gak pamit. Habis kamu keliatannya enak banget tidurnya. Jadi gak tega ngebangunin (lagian aku gak yakin kamu bangun kalau kita bangunin)
Sampe besok di sekolah ya……
Tania & Amy

Mereka berdua pun keluar dari rumah Hans dan beranjak pulang menuju rumah masing-masing. Sementara si Hans masih terlelap cukup lama. Sampai ayahnya pulang dan membangunkannya untuk pindah ke kamarnya sendiri.


two

Keesokan harinya di sekolah.
Sekolah tampak cukup ramai seperti biasa, namun penyebab keramaian kali ini sedikit berbeda. Sebagian besar murid-murid sedang membicarakan meninggalnya kepala sekolah mereka—Pak Robert Minami.
Hal ini tentu saja cukup mengagetkan. Mengingat Pak Robert, sang kepala sekolah cukup terkenal di kalangan para murid. Beliau cukup disegani namun tetap disukai karena selalu ramah dengan murid-murid dan juga para guru. Sebagian besar murid-murid merasa kehilangan beliau. Mereka rata-rata sangat tidak mengira jika Pak Robert meninggal secepat ini. Tak pernah terdengar kabar beliau memiliki penyakit sebelumnya. Penyebabnya kematiannya pun tidak diketahui secara pasti. Gosip yang beredar menyatakan beliau mengalami serangan jantung, namun ada pula yang mengatakan beliau keracunan makanan.
Dengan adanya berita kematian mendadak tersebut, secara otomatis pelajaran hari itu ditiadakan. Sebagai gantinya, mereka melayat ke rumah duka Pak Robert.
Rumah pak Robert tampak ramai. Seisi sekolah pun tampaknya sudah memenuhi kompleks rumah dimana beliau disemayamkan. Melihat jumlah pelayat yang datang, dapat diketahui betapa banyak orang yang merasa kehilangan beliau.
Tampak diantara para pelayat, kelompok misteri yang terdiri dari Lucas, Hans, Amy, Tammy dan juga Tania. Berlima mereka turut datang ke rumah duka tersebut. Mereka pun merasa sangat kehilangan sosok kepala sekolah yang bijak dan ramah itu. Amy tampak menangis di bahu Lucas. Tammy masih tetap santai, walaupun ia sedikit merasa sedih. Hans tampak muram dan hanya menatap manusia yang berlalu lalang di depannya, dan di sebelahnya tampak Tania dengan mata berkaca-kaca memandang peti pak Robert, namun ia tidak juga meneteskan air mata.
Di sebelah tubuh Pak Robert yang sudah terbujur kaku dalam peti matinya tampak sosok wanita berumur yang sedang menangis tersedu-sedu, dan di sebelahnya sesosok pemuda sedang berusaha menenangkannya. Mereka berdua merupakan keluarga dari Pak Robert. Istrinya yang bernama Terri serta seorang anak laki-laki yang bernama Sho, yang merupakan Ketua OSIS Rockvalley Junior High. Para pelayat menyampaikan ucapan belasungkawa yang dalam pada mereka berdua.
Upacara pemakaman pun dilaksanakan tak beberapa lama kemudian. Peti mati itu diangkat dan kemudian di bawa ke pemakaman umum yang terletak tak jauh dari rumah Pak Robert.
Pemakaman Pak Robert sang Kepala Sekolah itu berlangsung khusyuk. Istri beliau masih menitikkan air mata dan berada di sisi Sho anaknya. Peti itu kemudian dikebumikan. Tanah diatasnya pun telah diratakan. Sang istri, dan sanak saudara lain menaburkan bunga di atas tanah yang masih basah itu. Setelah itu mereka memberi penghormatan terakhir, berdoa agar arwah beliau tenang sana. Barulah kemudian para pelayat pamit undur kepada keluarga Pak Robert.
Di tengah keramaian para pelayat yang beranjak pergi, tampak kelompok misteri juga bersiap-siap untuk berpamitan. Saat akan pulang itulah, Tania melihat sosok Sho di bawah pohon di dekat makam Pak Robert. Tatap matanya menerawang jauh.
Tania yang merasa perlu untuk menyampaikan ucapan belasungkawanya pada Sho akhirnya memutuskan untuk menghampirinya. Karena tadi ia tak sempat bertemu dengan Sho di rumah duka.
Tania menyuruh teman-temannya yang lain untuk pergi duluan, dan ia akan menyusul mereka nanti. Ia pun perlahan mendekati Sho yang bersandar pada pohon Kamboja itu.
“Sho…” Tania memanggil nama pemuda itu
Sho yang merasa namanya dipanggil menengok. Tania bisa melihat wajah Sho yang sembab dan murung. Ia pun merasa iba pada Sho yang baru saja kehilangan seorang ayah itu.
“Kamu…Tania kan? Sedang apa kamu disini? Kok gak pulang?” Sho bertanya
“Anu…Aku cuma mau bilang kalau aku ikut berduka cita atas meninggalnya ayahmu” jawab Tania
“Makasih Ta..” jawab Sho sambil berusaha tersenyum. “Makasih udah datang kemari, ayahku pasti senang”
“Ng…Apa kau baik-baik saja? Maksudku... anu.. Aku pikir kau butuh teman, jadi aku—” Tania tampak bingung untuk melanjutkan kata-katanya.
“Thanks Ta.. tapi aku gak apa-apa kok. Aku lagi butuh sendiri aja saat ini” kata Sho
“Kau yakin? Gak usah malu sama aku. Kalau kamu mau curhat atau menangis, kamu bisa  cerita ke aku. Trus, bersandar di bahuku gak apa kok” Tania berkata dengan muka serius.
Sho hanya tersenyum mendengarnya
“Makasih atas tawaranmu, Tania… tapi aku baik-baik saja kok. Tidak usah khawatir”
“Oh.. ya sudah kalau begitu. Kalau kamu lagi butuh teman bicara, aku bersedia kok. Kamu bisa cerita apa saja padaku” kata Tania lagi. “Eh iya, ini ada saputangan untuk melap mukamu. Kamu kelihatan kusut banget” Tania mengulurkan saputangan ke arah Sho.
Sho menerimanya dan menggunakannya untuk menyeka dahinya kemudian diikuti seluruh bagian wajahnya yang lain.
“Thanks ya Ta…kamu baik banget. Apa setiap orang kamu perlakukan seperti ini?” tanya Sho
“Aku… selalu berusaha berbuat baik kepada tiap orang. Habis gak tega juga liat orang lagi sedih sendirian. Harusnya ada temen untuk menghibur. Paling nggak nemenin ngobrol deh” jawab Tania.
“Itu bagus, tapi hati-hati saja. Sikapmu itu bisa membuat cowok salah mengartikannya”
“Eh..? masa sih? Tapi… semoga saja tidak” kata Tania tersenyum.
Setelah ia merasa puas mengobrol dengan Sho, ia pun berpamitan  “Eh Sho.. aku duluan ya. Teman-temanku pasti sudah menunggu. Bisa-bisa aku dijitakin mereka karena kelamaan”
“Baiklah.. thanks buat saputangannya” Sho tersenyum
“Sama-sama. Kalau begitu, sampai ketemu lagi ya Sho” Tania melambaikan tangannya dan berlari meninggalkan Sho di bawah pohon Kamboja itu. Ia tidak melihat tatapan mata Sho yang masih melekat pada sosoknya hingga ia menghilang di tengah kerumunan orang banyak.
Tania berlari mencari teman-temanya yang lain. Ternyata mereka masih berjalan santai di sekitar komplek perumahan Pak Kepsek. Ia pun menghampiri mereka
“Sorry… aku kelamaen” kata Tania terengah-engah, begitu berhasil menyusul mereka.
“Darimana saja kamu?” tanya Hans yang berada di sebelah Tania
“Itu…Aku… aku.. habis ngobrol dengan Sho” ujarnya dengan nafas separuh-paruh.
“Oh.. dia. Si Ketua OSIS yang sok perfect itu ya “ ujar Hans menyindir
“Pasti dia ngumpet biar gak ketauan lagi nangis”
“Hans! Kok gitu amat sih kamu! Emangnya gak boleh nangis di pemakaman ayah sendiri?” tiba-tiba Tania berseru marah
“Loh.. Ta? Kok kamu jadi marah? Maksudku kan cuma—”
“Masa bodoh! Kamu emang keterlaluan Hans!” seru Tania kesal. Ia melangkah lebih cepat dan pergi dengan marah meninggalkan teman-temannya di belakangnya.
Teman-temannya yang lain ikutan bengong seperti Hans dengan kelakuan Tania yang tiba-tiba menjadi marah itu.
“Loh…si Tania kenapa Hans?” tanya Lucas keheranan
“Mana kutau…” jawab Hans hampa. Ia tak mengerti kenapa Tania tiba-tiba marah karena perkataanya tentang Sho itu.
Mereka berempat pun akhirnya melanjutkan perjalanan mereka menuju tempat tujuan mereka masing-masing.
Sementara itu, Tania yang di perjalanan pulang tiba-tiba teringat buku Sastranya yang tertinggal di kelasnya. Padahal ada tugas yang harus dikumpulkan esok harinya. Maka dari itu, ia pun kembali lagi ke sekolah untuk mengambilnya.
SMP Rockvalley terlihat sepi dikarenakan adanya pemakaman Pak Kepsek, seluruh penghuni sekolah dipulangkan lebih cepat dari biasanya. Kegiatan klub pun diliburkan untuk hari itu. Tania sampai di gerbang depan sekolah, dan disana ia bertemu dengan Sho. Baik Tania maupun Sho sama-sama terkejut karena tidak mengira mereka akan bertemu lagi secepat itu.
“Loh..Sho? Kamu sedang apa di sekolah?” tanya Tania
“Oh. Gak kok.. aku cuman mau ambil barang yang ketinggalan saja” jawabnya
“Kebetulan dong. Aku juga mau ngambil bukuku yang ketinggalan di kelas” kata Tania
“Begitu ya. Kalo gitu ayo deh, kita bareng sampai lorong depan” ajak Sho
Tania tidak menolak ajakan Sho. Ia dan Sho pun akhirnya berjalan bareng sampai di lorong tempat loker murid-murid. Setelah itu mereka berpisah ke arah tujuan mereka. Tania ke kelasnya yang terletak di lantai 2, sedangkan Sho menuju ke kelasnya yang di ujung sayap kanan gedung. Setelah Tania selesai mengambil bukunya.
Sesampainya di sekolah, mereka berpencar menuju kelas masing-masing. Setelah mendapat apa yang dibutuhkannya, Tania pun bergegas pergi dari kelasnya. Kemudian ia pun berjalan ke arah gerbang sekolah.
Saat Tania hendak keluar menuju gerbang, ia sengaja untuk lewat di depan ruang kepala sekolah. Ia hanya berpikir untuk melihat ruang dimana Pak Robert pernah berada untuk terakhir kali. Namun saat ia berada tak jauh dari ruangan tersebut, sayup-sayup ia dapat mendengar percakapan seseorang di ruang kepala sekolah. Rasa ingin tahunya yang membuat ia mengintip ke dalam ruangan tersebut lewat jendela. Pelan-pelan ia berjinjit untuk melihat siapa yang berada di dalam ruang tersebut.
‘Ada siapa ya? Kukira guru-guru sudah pulang dari tadi’ Pikir Tania dengan rasa penasaran yang besar
Di dalam ruang Kepala Sekolah yang berukuran 3x3 tersebut, Tania dapat melihat dua sosok orang yang ia kenal sebagai Wakil Kepala Sekolah, Bu Callahan dan juga Kepala POMG, Pak Wormwood. Mereka tampak sedang bercakap-cakap. Bu Callahan duduk di kursi tempat Pak Kepala Sekolah biasa duduk, sedangkan Pak Wormwood tampak duduk di depan mejanya.
“Bagaimana Pak Wormwood. Tidak ada bukti yang ditemukan di tubuh pak kepala sekolah bukan?”  Bu Callahan berkata
“Tidak ada Bu. Tampaknya racun itu benar-benar tidak meninggalkan bekas. Dokter pun tidak mencurigainya sama sekali” jawab Pak Wormwood disertai seringainya yang menurut Tania sangat menjijikan.
“Benar. Racun itu hebat sekali, sampai tidak terdiagnosis oleh dokter itu. Lagipula sebagai bukti pun,  racun itu sudah ia telan dan larut di dalam tubuhnya” Bu Callahan  tersenyum puas
“Sekarang dia tak akan bisa ikut campur lagi. Kita sudah bebas dari orang itu.. wahahaha!!!” Pak Wormwood tertawa. Bu Callahan pun ikut tertawa bersamanya.
Suara tawa keduanya menggema ke setiap sudut ruangan tersebut. Bahkan Tania yang berada di luar ruang itu pun dapat mendengarnya dengan jelas. Suara tawa itu sungguh membuatnya muak!
Tania serasa tak percaya telah mendengarnya. Suara tawa kedua orang itu bagaikan menusuk telinganya, membuatnya bengong sejenak. Hingga tanpa ia sadari, tiba-tiba sepasang tangan membekap mulutnya dari belakang.



Three
Tania terkejut oleh bekapan tiba-tiba ini. Secara otomatis ia memberontak, dan hendak berteriak-teriak, namun tangan itu terlalu kuat membekapnya. Sampai ia pun kesulitan bernafas. Namun kemudian terdengar bisikan orang yang membekapnya. Ia berbisik dengan jelas di telinga Tania.
“sshhtt… tenanglah Tania…. Ini aku, Sho. Jangan berisik!”
Tania menengok ke belakang, dan ia pun dapat melihat Sho dengan wajahnya yang serius itu. Barulah kemudian ia tidak memberontak lagi. Sho pun melepas bekapannya setelah Tania tenang.
“S..Sho, kau mengagetkanku!” Tania berbisik, nafasnya tersenggal senggal
“Sorry Ta, tapi kalau tidak begitu kamu pasti teriak tadi” kata Sho
‘Iya juga sih’ pikir Tania.
“Eh iya Sho, di dalam Bu Callahan dan Pak Wormwood—mereka….”
“Aku tau… Aku tadi juga mendengarnya. Sama sekali tak kusangka mereka memberi racun pada ayahku” ujar Sho
“Kita harus segera lapor ke polisi” seru Tania sambil tetap menjaga volume suaranya
“Itu nggak mungkin Ta—”
“Loh..kenapa?” Tania bertanya heran
“Kita kan tidak punya bukti. Kesaksian kita berdua saja tidak cukup untuk menyeret mereka ke penjara” Sho menjelaskan. “Polisi pasti tidak akan percaya cerita anak SMP seperti kita ini”
“Belum tentu begitu kok. Tapi….” Tania berpikir sejenak
“Aku tahu! Kalau begitu serahkan saja padaku. Aku dan teman-temanku pasti akan menemukan bukti yang memberatkan mereka”
“Apa kau yakin? Bagaimana cara kalian menemukan bukti yang memberatkan mereka?”
“Tenang saja, mencari bukti itu sudah jadi sarapan kita sehari-hari kok” ujar Tania tersenyum. “Bagaimana menurutmu?”
Sho terdiam sejenak. Ia tampak ragu, tapi akhirnya ia menyetujui hal itu “Baiklah kalau kamu memaksa” kata Sho akhirnya. “Sekarang kita pergi saja dari sini sebelum mereka menemukan kita”
Sho berdiri dan membantu Tania untuk berdiri juga. Tetapi tanpa sengaja Tania menyenggol sebuah sapu yang tersandar di tembok sebelahnya sampai jatuh. Kejadian itu membuat kedua guru itu terkejut dan memeriksa keluar.
Sho dan Tania buru-buru bersembunyi di tembok sebaliknya. Setelah kedua guru itu masuk lagi, barulah mereka melarikan diri. Namun ternyata tanpa sadar, Tania telah menjatuhkan lencana sekolahnya di tempat itu.
Dan di lencana tersebut tertulis inisial nama dan kelas Tania. Memang sudah jadi kebiasaan Tania untuk menamai semua barang miliknya. Maksutnya agar barang miliknya tidak mudah tertukar  dengan milik orang lain atau jika tercecer, akan ada orang yang mengembalikan padanya.
Tania dan Sho berpisah kembali di perempatan dekat sekolah. Tania naik bus untuk pulang ke rumahnya, sementara Sho berjalan ke arah yang berlawanan.
Sesampainya di rumah, Tania buru-buru menelpon Amy dan menceritakan kejadian yang dialaminya di sekolah tadi. Ia bahkan tidak menyapa Alex yang ada di ruang tengah yang sedang sibuk dengan komputernya.
“—Tidak mungkin!” pekik Amy tidak percaya.
“Aku juga tidak ingin percaya. Tapi aku melihatnya sendiri dengan mataku dan dengar juga dengan kupingku sendiri. Begitu pula dengan Sho” kata Tania bersemangat

“Kamu melihatnya bersama Sho?” Amy berseru terkejut
“Jangan kaget gitu dong. Kami kebetulan saja bertemu. Ada barang yang tertinggal yang mau diambilnya” ujar Tania
“Ah..tapi kamu suka kan bisa ketemu dia” goda Amy
“Ah Amy! Jangan nggodain gitu dong…”
Amy di seberang hanya bisa tergelak mendengar temannya yang jadi tersipu malu
“Eh iya…  ada yang gawat nih!” seru Tania tiba-tiba
“Apa yang gawat?”
“Aku baru sadar, lencanaku gak ada di kemejaku….Sepertinya jatuh ntah dimana deh” kata Tania dengan khawatir
“Hah?! Jatuhnya jangan-jangan di dekat ruangan Kepsek itu?” tanya Amy gusar
“Duh.. semoga saja tidak.. tapi bisa juga sih.. gimana dong kalau ketahuan?” Tania tambah khawatir
“Kamu sih gak hati-hati. Mereka pasti menemukannya lah”
“Aku harus gimana dong?”
“Gini aja… besok aku bantu nyari deh. Kita ketemu di gerbang jam 6 ya” kata Amy
“Oh…Baiklah... thx ya Amy” Tania menghela nafas lega
“Sama-sama. Sampe besok ya Ta..” kata Amy sebelum menutup telepon
“Yap. Sampe besok” balas Tania
Kemudian telepon ditutup. Tania meletakkan gagang telepon di tempatnya kemudian menghela nafas panjang.

         Sesorean itu Tania kebingungan. Selesai makan malam pun ia hanya mondar mandir di kamarnya. Tugas sekolah nya ia kerjakan seadanya.  Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Sampai akhirnya ia pun keluar untuk jalan-jalan. Baru berapa blok ia berjalan,  tak sengaja ia berpapasan dengan Hans.
“Loh Tania? Sedang apa kamu di luar malam-malam begini?” tanya Hans
“Cuman jalan-jalan aja kok. Pikiranku lagi sumpek nih” jawab Tania “Kamu sendiri? Kok masih di luar?”
“Aku baru dari rumah Lucas neh. Pinjam buku” Ia mengacungkan buku yang berjudul Blink karangan … itu
“Oh..” Tania membalas pendek
“Ada masalah apa Ta?” tanya Hans yang langsung menangkap ada sesuatu yang dipikirkan oleh Tania.
“Ng .. nggak kok” Tania menjawab ragu-ragu.
“Ayolah Ta… jangan pura-pura. Coba deh cerita, sapa tau aku bisa bantu” ujar Hans menawarkan.
“Tidak ada apa-apa kok Hans…” kata Tania lagi
“Ya sudah kalo begitu. Sekarang pulang saja yuk, biar aku antar. Malam-malam gini banyak orang jahat loh”
“Iya. Makasih, sorry ya udah ngrepotin”
“Apa gunanya punya temen aku kalo gak bisa nolong” kata Hans sambil menepuk dadanya sendiri. Ia tertawa kecil
Tania hanya tersenyum simpul. Mereka pun berjalan pulang dalan hening. Baik Tania maupun Hans tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ketika sampai di depan pagar rumahnya, barulah Tania mengeluarkan suaranya, walaupun sedikit ragu.
“Hans— anu… boleh aku minta tolong?” tanya Tania
“Boleh saja... Aku pasti bantu selama aku bisa melakukannya”
“Ng.. kamu tau kan Pak Kepala Sekolah itu ayah Sho”
“Iya tahu, lalu kenapa?” tanya Hans lebih lanjut
“Aku kira dia tidak begitu saja kena serangan jantung. Maksudku… ia meninggal karena ada yang meracunnya”
“Apa maksudmu? Darimana kamu mengetahui hal itu?” tanya Hans keheranan
“Aku gak sengaja mendengar pembicaraan pelakunya langsung” jawab Tania.
“Kemarin, habis dari pemakaman, waktu aku balik lagi ke sekolah ngambil bukuku yang tertinggal di kelas. Kebetulan aku bertemu dengan Sho. Lalu kebetulan juga kami melihat Bu Callahan dan Pak Wormwood di ruang kepala sekolah yang membicarakan tentang rencana mereka yang sukses dan juga racun yang ampuh”
“Jadi maksudmu. Yang mereka bicarakan tentang racun itu, berarti racun yang membuat Pak Robert tewas?”
Tania mengangguk pelan
“Iya. Oleh karena itu aku ingin mereka ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kasihan Sho, sekarang dia hanya bersama ibunya. Dia pun telah kehilangan seorang ayah. Aku ingin sekali membantunya, Hans”
Hans diam saja, ia berusaha menahan gejolak emosi agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti tadi siang. Ia hanya menarik nafas berat. Masih tak berkomentar.
“Kita akan membantunya kan? Kamu, Lucas, Amy, Tammy dan aku” Tania berkata lagi
“Entahlah Tania, kita tak ada bukti apapun soal kejadian itu” Ujar Hans akhirnya setelah diam beberapa saat. “Kesaksianmu dan Sho juga tidak akan cukup. Kita perlu bukti yang kuat”
“Iya. Aku tau itu.. lalu bagaimana cara kita mendapat bukti yang kuat?” Tania tertunduk
Hans memegang pundaknya dan menatapnya
“Jangan menyerah dulu. Kita bahas besok saja dengan yang lain di klub. Sekarang kamu istirahat saja dulu” kata Hans
“Baiklah.  Makasih ya Hans. Met malem” Tania tersenyum senang
“Malem juga. Sampai besok” Hans melangkahkan kakinya pergi dari depan rumah Tania.
Tania merasa lebih baik sudah menceritakannya pada Hans. Ia naik ke kamarnya dan tidur.



Four
Paginya di sekolah. Tania tidak dapat menemukan lencananya walaupun sudah mencari keliling sekolah. Baik Amy maupun dirinya akhirnya hanya bisa pasrah saja.
Tania sudah tidak memikirkan lencananya lagi, sampai tiba-tiba saat pelajaran ke-2 berakhir ada pengumuman dari pengeras suara untuk Tania agar menghadap ke ruang guru usai sekolah.
Secara spontan Amy dan Tania berpandangan dengan mimik muka penuh kekhawatiran.
“Gimana ini Tania? Jangan-jangan mereka benar-benar menemukan lencanamu. Tadi kan kita gak bisa menemukannya”
“Entahlah.. kita lihat saja nanti sepulang sekolah apa yang mereka inginkan dariku” Tania berusaha menenangkan dirinya sendiri.



Pelajaran setelah istirahat ke-2 tampaknya cepat sekali berlalu. Tanpa terasa bel tanda sekolah usai telah berbunyi. Terdengar kembali panggilan yang ditunjukan untuk Tania dari pengeras suara. Seakan tidak ingin Tania sampai melarikan diri begitu sekolah usai.
Tania pun bergegas membereskan barang-barangnya dan berpamitan pada Amy.
“Aku ke ruang guru dulu ya. Kalian kalau mau pulang duluan gapapa kok”
“Aku belum mau pulang kok. Kita ktemu aja nanti di ruang klub ya. Aku tunggu disana” balas Amy
“Ok deh. Sampai nanti ya”
Tania akhirnya selesai membereskan barang-barangnya. Ia pun melangkahkan kaki ke luar kelas dan berjalan menuju ruang guru yang terletak di lantai 1. tepat di bawah kelasnya itu. Sesampainya di depan ruang guru ia mengetuk pintunya yang dibalas dengan suara perintah untuk masuk dari dalam. Tania membuka pintu perlahan dan melangkah hati-hati masuk ke dalam.
Inilah kali pertama Tania memasuki ruangan itu setelah meninggalnya Pak Robert. Ruang kepala sekolah yang berukuran 16 m2 itu belum berubah. Karpet bewarna merah marun, suara AC yang berisik dan tentu saja meja kerja yang langsung dapat terlihat dari pintu masuk dan Pak Robert biasa telihat duduk di baliknya dengan banyak berkas di hadapannya. Dan di depan meja tersebut diletakkan 2 buah kursi untuk tamunya ataupun untuk duduk murid-murid yang dipanggil ke ruangannya.
Sudut kiri ruangan terdapat sebuah meja kecil yang di atasnya terdapat sebuah aquarium bundar dengan 2 ikan mas koki kesayangan beliau. Sementara di sebelahnya terdapat jendela yang cukup lebar dengan korden bewarna peach terang. Dengan begitu cahaya matahari dapat langsung masuk ke ruangan beliau tanpa terhalang.
Ke arah kanan dapat terlihat lemari berkas yang besar dan bewarna abu-abu. Lemari itu berisi seluruh data murid SMP ini beserta para karyawannya. Dan di sebelahnya rak-rak tempat berkas kegiatan ekskul di SMP ini tersimpan rapi dengan nama penanggungjawabnya tertulis pada setiap cover depan map tersebut.
Tania teringat ketika ia dulu pernah datang ke ruangan ini dengan kawan-kawannya, untuk meminta ijin menggunakan ruangan bekas gudang yang sudah tidak terpakai lagi di belakang sekolah sebagai ruang klub mereka. Dan saat itu beliau sangat mendukung kegiatan mereka berlima, bahkan memberi ijin khusus meninggalkan sekolah saat ada kasus yang terpaksa mengambil waktu belajar mereka.
Di dalam ruang itu duduk di kursinya yang besar Ibu Callahan, sang wakil kepala sekolah. Ia menatap Tania yang baru masuk dengan tatapan scanning. Dilihatnya Tania dari atas sampai bawah. Kemudian barulah dia bersuara
“Jadi kamu yang bernama Tania?” Tanya bu Callahan
“I..iya bu” Tania menjawab kikuk setelah dipandang penuh selidik.
Bu Callahan membuka laci kanan di mejanya kemudian mengambil sebuah benda
“Apa ini lencana sekolahmu?” tanyanya
Tania melihat lebih dekat lencana itu untuk melihat lebih jelas. Setelah melihat ada inisial namanya dan kelasnya di lencana itu, barulah ia menjawab
“Benar bu. Saya kbingungan mencarinya”
“Lencana ini saya temukan di depan ruang kepala sekolah kemarin sore. Apakah kamu kembali ke sekolah setelah pemakaman pak kepala sekolah?” Tanya Bu Callahan.
“iya bu”
“Apa yang kau lakukan di sekolah?”
“saya mengambil buku yang tertinggal di kelas”
“oh begitu. Lalu kamu lewat depan ruang kepala sekolah?”
“iya bu, karena lebih dekat lewat situ daripada harus putar lewat samping. Lagipula sudah ditutup saat sekolah usai”
“Apa kamu bertemu seseorang atau melihat orang lain saat kamu berada di sekolah?”
“Ti..tidak bu” Tania sedikit gagap
“hmmm….” Bu Callahan mengguman lama. Kemudian ia bertanya lagi. “Kalau tidak salah, kamu anggota klub misteri itu?”
“iya bu. Ada apa dengan itu?”
“oh tidak.. tidak apa-apa. Saya hanya memastikan saja” ujarnya sambil tersenyum. “Ya sudah. Ini lencanamu. Jangan sampai kau jatuhkan lagi” Bu Callahan menyerahkan lencana itu kepada Tania

Tania menerima lencana itu kemudian pamit untuk pergi. Bu Callahan hanya berpesan untuk tidak keluyuran dan langsung pulang. Setelah berterimakasih Tania keluar dari ruangan itu. Dan ketika akan berbelok di hall depan Tania bertubrukan dengan Pak Wormwood. Tania terkejut, begitu pula dengan Pak Wormwood.
“Se..selamat siang pak, Maaf..”
“ya..ya.. selamat siang. Kenapa belum pulang?” tanyanya
“Saya dari ruang guru. Bu Callahan memanggil saya tadi” jawab Tania
“Ooo… ya sudah kalau begitu cepatlah pulang”
“Baik pak. Selamat siang!” Tania berpamitan dan kemudian berlari keluar. Ia berlari menuju ruang klub. Dan lagi-lagi ia menubruk seseorang. Orang itu ternyata adalah Sho.
“Eh… Sho.. Aduh..maaf ya. Lagi-lagi aku nubruk orang”
“Aku gapapa. Kamu baik-baik saja? Sudah ke ruang guru?”
“Iya sudah. Bu Callahan menemukan lencanaku kemarin. Ia mengembalikannya tadi”
“Jadi kemarin kamu menjatuhkan lencanamu? Lain kali hati-hati, jangan kau jatuhkan lagi”
“Beres. Aku taruh di tempat yang aman sekarang” kata Tania. “Eh iya, aku mau ke klub nih, ayo ikut sekalian. Kukenalkan dengan teman-temanku” ajak Tania
Mereka berdua berjalan menuju ruang klub misteri yang terletak di bagian belakang sekolah. Awalnya ruang itu adalah gudang penyimpanan yang tidak terpakai. Namun Hans dan Lucas memintanya kepada pihak sekolah untuk diajdikan ruang klub dan disetujui. Mereka berdua akhirnya sampai. Begitu membuka pintu, Tania sudah diterjang dengan pertanyaan.
“Hey Tania, gimana? Lencanamu udah dikembalikan?” Tanya Amy
“Kamu ceroboh sih.. bisa-bisanya lencana sekolah jatuh segala” kata Tammy
“Udah ada padaku kok. Iya deh aku ceroboh.. gak lagi-lagi deh ntar” Tania menjawab smua pertanyaan dan komentar yang ada.
Amy melihat Tania yang tidak datang sendiri bertanya
“Ta.. sama sapa kamu? Kok tidak disuruh masuk?”
“Baru mau aku suruh masuk kok” jawab Tania lagi. “Sho.. masuk yuk” Ia pun mempersilakan Sho untuk masuk ke dalam.
Setelah Sho masuk ke dalam, semua memandang padanya. Baik itu Lucas, Hans, Tammy maupun Amy.
“Nah.. teman-teman. Kalian sudah kenal Sho kan. Sho. Ini teman-temanku, itu Lucas yang di meja dengan botol-botol itu. Hans yang sedang membaca di dekat jendela itu. Sedangkan yang di sofa itu Tammy. Nah yang di dekatku ini Amy. Kenalkan smuanya” Tania memperkenalkan satu persatu.
“Salam kenal” ujar Tammy
“Sama-sama” Sho menjawab pendek.
Tania mempersilakan Sho duduk. Ia sendiri mengambil duduk di sebelah Tammy. Lucas pun menghampiri mereka dan duduk di kursi tinggi dekat pintu kemudian bicara.
“Nah Tania. Sekarang kita bicarakan masalah pak kepsek ini. Aku sudah dengar dari Amy dan Hans ceritanya”
“Dalam kasus ini, tersangka sudah jelas. Hanya saja tidak ada bukti satupun” Tammy bersuara. “kita harus punya bukti yang kuat atau polisi tidak akan percaya”
“Ya. Memang itu yang susah” kata Lucas lagi. “Bagaimana caranya kita mendapatkan buktinya kalau kejadiannya sudah berlalu? Mereka pasti sudah memusnahkan barang buktinya”
“Masa kita mau suruh mereka mengakui perbuatan mereka sendiri begitu saja?” kata Amy
“Kau pikir mereka bodoh apa mau mengakui begitu saja? Paling tidak kan kita harus punya bukti untuk mengancam mereka agar mau mengaku” Tammy menimpali.
“Kita harus mencari titik kelemahan mereka. Setelah itu baru kita paksa mereka mengaku” kata Tania. “Tadi Bu Callahan terlihat biasa saja. Tapi saat tahu aku di klub misteri dia cuman mengguman tanpa maksud yang jelas”
“Itu belum bisa dijadikan acuan lah. Kita harus mencari sesuatu hal yang bisa membuat kasus ini lebih jelas lagi” kata Tammy.
Hening sejenak diantara mereka. Tampaknya mereka sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. MEngira-ira langkah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
“Sebaiknya kita lanjutkan pembicaraan ini besok saja. Sudah hampir jam 4. Gerbang sekolah akan dikunci jam 4. Kita tak mau terkunci disini kan?” kata Tammy.
Tampaknya semua setuju-setuju saja. Mereka segera membereskan barang-barangnya. Sho berdiri dan berpamitan
“Baiklah kalau begitu. Aku pulang duluan ya” kata Sho. Ia membuka pintu dan hendak melangkah pergi.
Tania tiba-tiba berseru memanggil Sho
“Sho tunggu! Aku ikut denganmu” ia menyambar tasnya “teman-teman, aku duluan ya. Sampai ktemu besok” Tania pun membuka pintu dan berlari mengejar Sho.
Yang lainnya tak berkata apa-apa untuk membalas ucapan Tania. Lucas menengok ke arah Hans yang dengan malas-malasan bangkit dari kursinya.
“Kau tak apa-apa Hans?” Tanya Lucas
“Memangnya aku kenapa?” Tanya Hans lagi
“Kok dari tadi tidak bersuara. Gak ada komentar apa-apa sejak Tania dan Sho datang”
“Aku lagi malas ngomong aja” jawab Hans pendek
“Cemburu ya…” ujar Lucas menggoda
“Lucas!!!” Hans berseru marah sampai wajahnya merah
“Ha..ha.. bercanda kok. Jangan diambil hati” Lucas tertawa
“Sialan kamu Cas!” Hans menggerutu kesal
Lucas menertawakan Hans. Mau tak mau karena melihat Lucas tertawa, Hans pun ikut tertawa. Melihat Lucas yang terbahak-bahak Amy dan Tammy keheranan. Tammy pun bertanya
“Kenapa sih kalian berdua?”
“urusan cowok. Cewek gak usah tahu” kata Hans
“Yey.. dasar! Sorry that I ask” Tammy mendumel
“Kita pulang sekarang yuk” ajak Amy
Mereka berempat akhirnya keluar dari ruang klub dan pulang menuju rumahnya masing-masing. Lucas dan Hans barengan, sedangkan Amy bersama dengan Tammy.
Sementara itu Sho dan Tania yang pulang bersama sedang mengobrol disela-sela langkah mereka. Mereka tampak asyik mengobrol. Ketika mereka sudah sampai di dekat rumah Tania, ada jeda sejenak dalam obrolan mereka. Beberapa menit terjadi keheningan diantara mereka. Kemudian Sho akhirnya membukanya dengan pertanyaan
“emmm.. Tania. Aku boleh nanya sesuatu?”
“Boleh aja. Ada apa?” Tania heran dengan cara Sho bertanya. Ia hanya mengernyitkan alisnya.
“Jawab yang jujur ya” kata Sho.
Setelah Tania menganggukan kepalanya dia pun kembali bertanya.
“Apa kamu sudah punya pacar?”
“Hah?!” Tania bengong mendengarnya
“Sudah punya?” Tanya Sho lagi
“eh.. be.. belum” Tania menjawab tergagap.
“Lalu dengan yang bernama Hans itu?
“Oh Hans.. dia— sahabatku sejak kecil kok” jawab Tania.
“Teman sejak kecil ya. Kalau begitu boleh dong aku minta kamu jadi pacarku?”
“eh?” Lagi-lagi Tania bengong. Ia terkejut dengan acara penembakan yang tiba-tiba ini.
“Aku ingin kamu jadi pacarku” Sho mengatakannya lagi dengan jelas.
“A—aku? ja..jadi pacarmu?” Tania menunjuk dirinya dengan binung
“Ya iyalah kamu. Ada siapa lagi disini?” kata Sho tersenyum geli
“Kenapa? Apa kamu sudah punya orang yang disukai?”
“ti..tidak sih. Tapi… aku?” Tania jadi tergagap-gagap
“Gak dijawab sekarang gapapa kok. Aku akan menunggu. Sorry kalo terlalu mendadak” kata Sho.
Mereka pun telah sampai di depan rumah Tania.
“eh, baiklah. Oh ini rumahku. Terima kasih ya sudah diantar”
Tania mengucapkan terimakasih kemudian cepat-cepat masuk kedalam rumah. Ia bersandar di balik pintu depan. Jantungnya berdebar keras. Ia merasa mukanya panas dan nafasnya jadi tidak beraturan. Ia sama sekali tidak menyangka Sho, si Ketua OSIS yang terkenal itu akan menyampaikan kata-kata itu padanya. Ia tidak pernah berpikir hal itu akan terjadi. Meski ia memang ada rasa simpatik pada Sho. Tapi kalau tiba-tiba begini. Mana kuat hatinya.
Alex, kakak Tania yang sedang berada di ruang tamu heran melihat adiknya hanya diam bersandar di balik pintu.
“Selamat datang Ta. Kok diem aja disitu knapa?”
“Nggak ada apa-apa kak. Aku naik dulu” Tania dengan cepat menaiki tangga dan berlari menuju kamarnya kemudian membanting pintu agak lumayan keras hingga mengagetkan Alex.
“Tania! Jangan suka banting pintu!” seru Alex dari bawah
Tak ada jawaban dari kamar atas.
Tania yang berada di atas sedang berada di kamar mandi. Ia membasuh mukanya dan berpikir apa yang sebaiknya ia katakan pada Sho besok. Rasanya ia tak bisa menemuinya lagi. Karena tadi sudah bersikap gagap seperti itu. Memalukan sekali, pikir Tania. Sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, ia sampai hampir tak mendengar ketukan di pintu kamarnya.
“Ta.. Tania. Kamu tidak apa-apa kan? Boleh kakak masuk?” kata Alex dari luar kamar
“Iya.. Sebentar” Tania melap mukanya dngan handuk kemudian keluar dari kamar mandi. Ia membuka pintu kamarnya. Alex pun melangkah masuk.
Hal pertama yang dilakukan Alex adalah memegang dahi Tania
“Apa kamu sakit?” Tanya Alex. “Mukamu merah. Kupikir demam”
“Aku .. aku gak papa kok kak”
“Gak papa gimana? Dari tadi dipanggil gak denger. Setelah aku kesini baru sadar kalau dipanggil” kata Alex lagi.
“Maaf… aku lagi berpikir tadi”
“Mikir apa sih? Kalo ada kesulitan bilang dong. Aku kan kakakmu” kata Alex
Tania menggeleng pelan. “Sorry kak, aku blom bisa cerita dulu. Aku—”
“Ya sudah. Aku gak maksa kok. Asal kamu baik-baik saja sih gak masalah” Alex mengusap kepala Tania dengan lembut.
“Cepat turun ya. Perutku udah lapar nih” Alex mengusap-usap perutku tanda ia minta dimasakin makan malam. Tania tersenyum karena tingkah kakaknya itu. Ia pun mendorong keluar Alex dari kamarnya dan turun ke bawah untuk membuat makan malam.
“Iya deh. Aku buatin makan malam yang enak”
Setelah makan malam. Mereka mengobrol-ngobrol, tentang keadaan sekolah, kegiatan mereka masing-masing, hingga secara tiba-tiba Alex bertanya pada Tania
“Ta, kamu pacaran sama Sho ya?”
“Si..siapa yang pacaran?! Ngaco deh kakak. Kan Sho aja baru nembak tadi sore— ups....” Tania membekap mulutnya ketika sadar apa yang baru saja meluncur keluar dari mulutnya.
“Nah ya… ketauan sekarang. Makanya jangan main rahasia-rahasiaan ama kakakmu ini” Alex tersenyum jahil.
“Kakak curangg… pertanyaannya yang ngejebak sih!” seru Tania. Namun tiba-tiba ia terdiam. Kemudian ia mendapat ide untuk mendapatkan bukti atas kasus yang sedang dihadapi klubnya. ‘Ini pasti bisa berhasil!’ Gumannya sambil tersenyum.
“Hey.. kok habis teriak-teriak malah senyam senyum. Kamu kayak orang gila deh”
“hehehe.. kakak baru saja memberiku ide yang sangat hebat. Kakak hebat deh!” Tania memeluk kakaknya.
“Soal apa ini? Kok rahasiaan lagi?”
“Nggak kok kak… cuman kasus baru aja” kata Tania menjelaskan. “Eh iya.. omong-omong. Kok kakak tau soal Sho? Aku kan belum pernah cerita” Tanya Tania tiba-tiba.
Sambil tersenyum jahil Alex menjawab
“Ada suara bidadari yang memberitahuku kemarin malam. Tania dan Sho bertemu saat mengambil buku yang ketinggalan di kelas…”
Tania tersentak kaget
“Kakaaakk!!! Kakak nguping telponku sama Amy ya kemaren?!” seru Tania. Ia melemparkan bantal kearah Alex yang buru-buru lari masuk ke kamarnya sambil terbahak-bahak.
Tania akhirnya ikut masuk ke kamarnya sendiri sambil cemberut karena kakaknya yang usil suka nguping. Sebelum membanting pintu ia berteriak lagi
“Kakak nyebeliinn!!!”
BRAK!
Lalu pintu kamar di banting lagi. Dan dari kamar sebelah suara tawa Alex masih menggema ke seluruh penjuru rumah  mereka.



© Copyright 2012 Akshara (neeya at Writing.Com). All rights reserved.
Writing.Com, its affiliates and syndicates have been granted non-exclusive rights to display this work.
Printed from https://www.writing.com/main/view_item/item_id/1889679-Mystery-Club-Case-part-1